Pain

parkisye
7 min readMar 18, 2024

--

Requested Marriage by

Parkisye

Saga adalah pria yang selalu berjuang.

Sedari dulu, Saga adalah pria yang selalu memperjuangkan apa yang dia impikan.

Dari berjalan kaki berkilo-kilo meter hanya untuk membeli piano bekas pertamanya karna di sana jauh lebih murah, menyumputi kertas-kertas tangga nada karena Ayahnya tidak begitu suka, juga sengaja terbangun dini hari hanya untuk membawa piano itu keluar dan belajar sendiri.

Saga tidak pernah mengubur mimpi.

Kata orang, mimpi yang ini hanya akan terwujud justru saat dia bangun, bukan malah tertidur. Kata orang, mimpi tidak akan mendekat kalau bukan dia yang berlari lebih dulu. Dan kata orang, mimpi bukan hanya tersedia untuk orang-orang yang mampu, tapi orang-orang yang mau.

Sehingga sedari dulu, Saga selalu melakukan itu untuk semua impiannya. Tidak peduli dengan banyak suara yang mengatakan mimpi itu terlalu mahal untuk dirinya, terlalu jauh untuk tangan Saga menggapainya, Saga memperjuangkannya.

Bersamaan dengan setiap ekspektasi Ibu yang percaya padanya, juga remeh Ayah yang ingin dia buktikan bahwa dia tidak salah, Saga ingin membuktikan bahwa musik … adalah tujuan masa depannya.

Ayah tidak pernah melarangnya, tentu saja. Tapi tidak bohong, Ayah lebih berharap Saga bisa menjadi pria dengan pekerjaan tetap tanpa harus menggantungkan hidup dengan pasang surutnya dunia musik. Ayah ingin Saga tidak hidup sulit.

Seperti mereka.

Sehingga ketika Keyra mengatakan bahwa impiannya adalah menjadi seperti Ibunya, Saga merasa Keyra harus memperjuangkannya.

Atau setidaknya, dia yang akan memperjuangkannya untuk Keyra.

Untuk wanitanya.

Saga memang belum lama mengenal Keyra, namun Saga sudah tahu, terlalu banyak yang sudah direnggut dari Keyra hingga untuk punya impian saja wanita itu sudah tidak mampu.

Tidak dengan belajar piano yang membuat bibirnya tersenyum, tidak dengan denting gitar yang suaranya mampu membuat Keyra termenung. Banyak hal yang direnggut dari Keyra tanpa wanita itu sadari. Salah satunya soal punya impian sendiri.

Maka ketika di satu malam Saga menatap wajah Keyra yang sudah terlelap tidur, mengusap helai-helai rambut Keyra tanpa ikut tertidur, Saga berjanji pada dirinya sendiri,

Keyra boleh punya mimpi tanpa harus memikirkan apa-apa lagi.

Boleh dengan buka restaurant gofood walau menunya hanya telur yang kuningnya tidak sempurna, boleh dengan toko bunga walau bungkusnya masih acak-acakan, boleh apapun. Saga ingin mewujudkan semuanya untuk Keyra.

Dia tidak punya banyak hal yang bisa dia berikan, tapi walau begitu, dia akan mengusahakan.

Sebenernya, impian aku tuh pengen kayak Mama.

Maka Saga akan mewujudkan.

Sesulit apapun jalannya, Saga ingin mewujudkan.

Walau dengan menguras habis isi tabungannya yang sedang dia coba kumpulkan selama masa debutnya, walau dengan membayar semua peralatan yang seharusnya tidak perlau hanya karena dia ingin Keyra nyaman selama melakukannya, Saga tetap melakukannya.

Untuk Keyra.

Untuk wanita yang kini … dia cinta.

“Kok barang dan surat kursusnya di tolak semua?”

Saga hanya terdiam membaca satu pesan itu yang Indra kirimkan. Matanya mengerjap, masih mencoba memikirkan apa yang terjadi walau kecewanya sudah meluap. Namun dia tetap hanya diam.

“Ditolak gimana?” Saga akhirnya mengangkat tatap untuk langsung berbicara pada Indra yang ada di ujung ruangan. Matanya menatap dalam, tidak menghiraukan banyak pandang dari crew yang juga ikut menoleh ke arahnya. “Ndra?”

“Ga — ”

“Keyra yang batalin?” Tatap datar itu mengerjap, masih mencoba tenang walau suaranya sudah berat. “Gue ke belakang bentar.”

Saga yang bangkit dari set untuk acara talkshow-nya membuat seluruh mata mengikuti, sebelum saling tatap pada Indra untuk meminta penjelasan, membuat Indra dengan sigap mengangkat telapak tangan seolah menenangkan.

“Kasih 10 menit,” kata Indra sambil memohon. “Bentar aja. 10 menit abis itu gue panggil. Dia mau telpon aja kayaknya.”

Lantas semua orang hanya kembali pada kesibukan mereka seraya Saga melangkah ke arah belakang ruangan, mencari satu sudut untuk mengerjap pada nama kontak Keyra beberapa kali dan menunggu penjelasan. Namun saat nama kontak itu tidak muncul untuk menelponnya, atau mengirimkan pesan untuknya, Saga membuang tatapnya.

Kecewa.

Maka pelan-pelan dia menyandarkan punggung pada dinging untuk menumpu tubuh. Pandangnya menembus jendela, menatap bagaimana lampu-lampu mobil berlalu-lalang di bawah sana. Membuat Saga terdiam lama.

Sebelum akhirnya dia kembali menatap layar ponsel dengan nama Keyra di sana, lalu menelponnya.

Nada sambung pertama …

Lalu,

“Saga — ”

“Kamu yang batalin?” suara berat Saga bertanya lebih dulu. Ada kecewa yang Saga suarakan dengan jelas. Keyra tidak pernah tahu, sebesar apa yang harus Saga lakukan untuk memberikan itu semua.

Saga, bentar , aku jelasin dulu please jangan marah sama aku dulu. Bentar — ”

“Kamu?” Saga mengulangi dengan nada beratnya. Saga bersumpah. Apapun tidak apa-apa, asalkan bukan Keyra yang benar-benar membatalkannya. “Keyra?”

“Iya, tapi — ” suara hembus napas Saga yang Keyra dengar membuat jemarinya mulai gemetar. Matanya bergerak cepat, menggigit kuku ibu jari dengan kuat. “Iya , aku yang batalin tapi aku boleh jelasin dulu nggak — pelan-pelan, aku — ” Keyra menjeda ketika suaranya ikut bergetar, harus terpejam untuk melanjutkan. “Pelan-pelan — Saga, boleh jangan pergi dulu, nggak? Aku jelasin. Tapi nggak bisa cepet-cepet. Maaf. Aku lagi nggak bisa ngomong cepet-cepet.”

Namun Saga hanya menjawabnya dengan diam. Sehingga masih dengan gemetar, Keyra pelan-pelan melanjutkan.

“Aku … bukannya nggak mau ikut kursus yang udah Saga pesen, nggak — aku seneng banget, sumpah!” Keyra menghapus cepat air matanya yang jatuh, lalu melanjutkan dengan bibirnya yang ikut gemetar. “Aku seneng banget sampe nggak tau harus bilang gimana untuk gambarin rasa senengnya. Saga bikin aku seneng banget. Aku bahagia banget. Aku — nggak bohong.” Keyra mulai terisak.

“Aku juga — pengen banget, kok, wujudin impian aku yang kayak selalu Saga bilang,” gumam Keyra lambat dan sumbang. “Tadinya … aku udah buang jauh-jauh impian aku yang ini sejak Papa nggak setuju. Aku udah nggak pernah mikirin lagi karna aku pikir …mungkin emang nggak semua mimpi untuk bisa jadi nyata. Mungkin sebagian memang cuma bisa jadi bunga tidur, angan-angan yang nggak nyampe, impian haha-hihi yang aku pikir … jadi kayak Mama juga salah satunya. Jadi aku udah kubur impian aku yang itu. Udah nggak pernah mikirin lagi.”

Keyra tertunduk ketika air matanya jatuh lebih banyak, membuat napasnya semakin sesak.

“Tapi … aku mulai pengen lagi waktu Saga bilang aku boleh belajar apapun yang aku mau.” Keyra mengenyit ketika tangisnya tumpah dalam diam, menahan isaknya agar tidak terlalu terdengar. “Aku pengen lagi waktu kamu bilang … aku boleh jadi apa aja yang aku mau, boleh wujudin impian apa aja yang aku mau. Aku jadi pengen lagi. Pengen jadi — kayak Mama lagi,” isak Keyra terbata, membuat Saga akhirnya bersuara.

“Terus kenapa dibatalin kalo kamu pengen, Keyra?” kata Saga berat. “Kenapa dibatalin?”

“Papa ke rumah.”

Lengang.

Saga terdiam lama hanya untuk merasakan denyut nyeri di hatinya. Emosinya mulai naik, namun dia tidak pernah meninggikan suaranya. Sehingga lagi-lagi, dia hanya diam.

“Tadi Papa Mama dateng waktu orang kursusnya juga nyampe, Saga,” lirih Keyra terbata di tengah isak. “Maaf, aku bingung banget aku harus jelasin apa ke Papa waktu dia liat semua barang-barang itu dianter ke rumah kita. Aku — bingung banget harus bilang apa. Aku keinget waktu Papa dulu — marahin Mama, terus — takut Papa marah sama kamu juga — gara-gara aku lagi. Takut. Semuanya gara-gara aku lagi. Semua orang ribut gara-gara aku lagi. Aku nyusahin terus. Bikin repot terus. Aku — ”

“Keyra …”

“Aku nggak pengen Papa marah sama Saga juga,” isak Keyra kuat hingga napasnya tersendat. Terputus-putus hingga dadanya sesak. “Kenapa semua orang harus marah karena impian aku. Aku nggak apa-apa kok kayak gini aja. Nggak usah jadi apa-apa. Asal nggak ada yang ribut-ribut lagi. Aku — n-nggak kuat.”

“Siapa yang bilang aku bakal ribut?” kata Saga dengan suara beratnya. Walau dua matanya memerah, dia masih memperjuangkan impian Keyra. “Udah aku bilang, kan? Kamu nggak perlu dengerin omongan Papa kamu lagi. Kamu nggak perlu khawatirin pendapat Papa kamu lagi. Setelah semua yang dia lakuin ke kamu untuk ngancurin hidup kamu, kenapa sampai sekarang kamu masih aja mikirin omongan dia?”

Keyra sontak terdiam dengan isaknya yang masih ada. “Kok Saga — bilangnya gitu?” isak Keyra sedikit tidak setuju. “Itu — Papa aku.”

“Siapa yang bilang bukan?” Saga masih mempertahankan suaranya tetap rendah walau emosinya tidak begitu. “Itu Papa kamu, bener. Orang yang sama yang udah ngambil impian kamu berkali-kali.”

“Saga , nggak gitu — ”

“Jadi gimana?” Kulit putih Saga memerah. Tubuhnya sudah menegak tidak lagi bersandar di dinding. Namun wajahnya tetap datar. “Menurut kamu gimana kalo bukan gitu?” kata Saga. “Setelah dia yang ngancurin mimpi kamu dengan mindahin kamu ke Standford, setelah dia yang maksa kamu buat kuliah bisnis padahal kamu nggak mau, setelah dia yang telat jemput kamu padahal kamu nunggu di sana sampai bikin cowok-cowok brengsek itu punya waktu buat nyakitin kamu. Menurut kamu gimana?”

Dua mata Keyra langsung berguncang hebat. Ingatannya langsung melemparnya jauh kembali pada malam kelam itu. Tubuhnya mulai gemetar, lamat-lamat memburamkan pandang hingga dua kakinya melemah, mulai menghayalkan ada air hujan yang mulai membasahinya.

Langit berubah gelap.

“S-saga …”

“Kamu nggak inget semuanya sampe masih dengerin dia?” Saga masih melanjutkan. Masih mencoba mempertahankan. “Kamu nggak inget gimana kamu ketakutan cuma karna aku pegang kancing baju kamu? Nyentuh kamu? Kamu inget nggak?”

“S-saga …” Dua mata Keyra bergerak cepat pada ruang hampa. Bibirnya bercelah, mencoba meraup udara yang seketika absen di paru-parunya, membuat kakinya mulai meronta. “S-aga, u-dah — ” engah Keyra terbata. “Udah, sesek. Udah.”

Namun Saga tidak bisa melihatnya. Sehingga pria itu hanya melanjutkan ucapannya.

“Aku emang nggak punya banyak hal buat kasih ke kamu, Keyra,” kata Saga dengan nyeri yang juga ada di hatinya. Saga tahu, dia bukan Ayah Keyra yang bisa mewujudkan impian wanita itu dalam satu kali jentikan jari. “Tapi walau nggak banyak, aku ngabisin semuanya buat kamu.” Saga menjeda ketika suaranya ikut sumbang, harus membuang tatap sebelum melanjutkan. “Walau nggak banyak, aku pengen kasih ke kamu. Pengen nyenengin kamu. Tapi kenapa kamu malah cuma dengerin omongan Papa?”

“M-maaf,” isak Keyra terbata di tengah sesaknya. Air matanya jatuh, walau dua matanya terbuka lebar dengan ingatan-ingatan buruk yang mulai menyerang menjadi satu. “M-maaf. Jangan — marah. Aku janji. Aku — bakal ganti — Maaf.”

“Kamu pikir aku lagi bahas soal uang?” Saga mengernyit samar. Mulai tidak bisa memaksa mimik wajahnya tetap datar. “Dari semuanya, yang kamu pikirin cuma itu?”

“Saga — ”

“Kamu beneran mirip Papa kamu ternyata.”

Lantas setelahnya, panggilan itu terputus begitu saja. Membuat tangis Keyra pecah luar biasa.

--

--

No responses yet