Keenan & Kirana

parkisye
6 min readJan 17, 2025

--

The Berlin Apartment by

Parkisye

“Gimana … Kak?” Setelah mengintip dari celah pintu, Kirana pelan-pelan kembali mendekat ke arah dapur. Di sana, Keenan sudah duduk di meja makan dengan sepiring pasta dan tuna, juga sebuah amplop surat di sisi gelas.

“Sini, duduk sini.” Keenan menepuk kursi di sebelahnya, namun Kirana memilih untuk duduk tepat di depan Keenan hingga saling berhadapan. “Di suruh duduk di sebelah gue malah di depan gue. Pengen liat gue banget apa gimana?”

“H-hah?” Kirana gelagapan. Jujur saja, rasa-rasanya duduk di sebelah Keenan jauh lebih menegangkan dari duduk di depannya. Setidaknya, jarak bahu mereka tidak mungkin bersentuhan. “Biar … jelas aja sih Kak dengerinnya. Kalo di sebelah nanti Kak Keenan ribet nengoknya.”

Keenan yang melihat bagaimana kulit Kirana memerah malah terkekeh jahil. “Lucu banget calon dokter kalo bingung. Pipinya merah-merah.”

Kirana yang langsung memegang pipi sendiri membuat Keenan terkekeh lebih kuat. “Anjir lah, lucu beneran.”

Kirana yang semakin salah tingkah akhirnya ikut tersenyum seraya mengambil gelas untuk dia teguk separuh isinya, namun malah membuat Keenan bertopang pipi seraya menatap Kirana dengan senyum jahilnya.

“Kenapa sih Kak?” Satu hal yang Kirana sadari sejak pertama kali bertemu Keenan, pria itu selalu punya senyum yang terlihat … sedang menggoda? Entah kenapa. “Kak Keenan senyum-senyum mulu. Pipi aku beneran semerah itu emang?”

“Kita barusan ciuman kalo lo nggak sadar.”

“Hah?!” Kali ini Kirana benar-benar gelagapan. “K-kapan? Nggak ah. Kak Keenan ngaco. Mana pernah lagi kita ciuman. Kak Keenan abis minum ya?”

“Lo barusan minum dari gelas punya gue.” Dua mata Kirana membola menatap gelas di tangannya. “Pas di bibir gue lagi. Gimana rasanya?”

“Kak! Sorry, sorry banget. Nggak sengaja, sumpah. Maaf banget Kak!” panik Kirana yang semakin menjadi malah membuat Keenan semakin senang. “Aduh …”

“Iya nih, aduh … gimana tuh.” Keenan terkekeh dengan menaikkan satu alisnya. Senang sekali melihat Kirana yang sebingung ini. “Lo udah nyuri ciuman gue tanpa izin tuh. Harusnya gue bales nggak sih?”

Sudah gila kali.

“Mana ada lagi ciuman ih, Kak Keenan!” Keenan tergelak saat Kirana memukul lengannya. “Aku ambilin gelas baru aja ya kak. Tunggu bentar.”

Dan Kirana sudah akan turun dari kursinya saat,

“Nggak usah Na.” Tangan Keenan menahan lengan Kirana hingga wanita itu membeku. “Ini aja.” Lalu Keenan malah mengambil gelas yang sama untuk dia posisikan persis di tempat Kirana minum, lalu meneguk habis sisanya. “Gue nggak masalah kok.”

Aduh … jantung Kirana. Ini sih Kirana yang masalah ya.

“Sini, duduk lagi. Gue jelasin soal asuransinya.” Keenan menarik lembut tangan Kirana yang dia genggam. Kirana menurut untuk duduk lagi. “Beneran nggak mau duduk di sebelah gue aja?”

“Nggak.” Tawa Keenan pecah. Terlalu kuat hingga Kirana berdecak sebal. “Kak Keenan sengaja banget ya begitu? Nyebelin.”

Keenan harus memakan waktu lama untuk meredakan tawanya. Aduh, beneran lucu ternyata. Pikir Keenan. Lucu banget. Anjirlah. Mana gue lemah sama yang lucu-lucu.

“Kak, serius ini jadi jelasin nggak.” Kirana benar-benar ingin mengakhiri rasa malunya. “Kalo nggak aku mau nugas aja. Banyak banget Kak tugasnya.”

“Iya, iya, jadi.” Keenan berdehem untuk menghabiskan sisa tawa. “Oke serius ya. Gue jelasin soal asuransi lo.” Maka kali ini keduanya serius, seraya Keenan mengeluarkan selembar kertas dari dalam amplop putih, lalu membukanya di depan Kirana.

“Jadi … ini lo baca ya.” Kirana menunduk untuk membaca lebih dekat tulisan di datas kertas. “Ini di sini dia bilang, lo telat bayar asuransi bulanan lo karena uang di dalem rekening lo nggak cukup untuk pihak asuransi narik secara otomatis dari sana, jadinya lo harus kena denda berjalan per tanggal ini.”

Jari telunjuk Keenan menunjuk sebuah tanggal yang tercetak tebal hingga membuat Kirana terdiam. Cukup canggung karena akhirnya Keenan tahu bahwa Kirana tidak punya cukup uang bahkan hanya untuk sekedar membayar asuransi bulanan.

Kirana bahkan masih sempat bersyukur karena Keenan tidak perlu mengetahui bagaimana dia harus mencari lebih banyak agar Mama tetap bisa hidup layak. Kirana pasti terlihat menyedihkan sekali.

“Terus total denda yang lo tanggung sampe hari ini, itu … segini.” Jari telunjuk Keenan berpindah ke sebuah nominal angka. 20 euro. “Udah lumayan gede si ini, tapi masih bisa di atasin lah.”

Kirana menggigit bibir menatapi angka itu. Bahkan untuk membayar pokok asuransinya saja Kirana belum punya, namun kini dia harus ditambahkan lagi 20 euro lebih banyak karena terkena denda.

Dia tahu itu salahnya, namun entah kenapa Kirana merasa harus marah pada semesta yang menghadiahinya jalan seberat ini. Bahkan untuk nominal 20 euro yang bagi orang lain hanya dipakai untuk makan di restaurant, Kirana tidak punya.

Di mana adilnya dunia ini?

Kirana jelas tidak bisa mengatasinya. Namun,

“Oh … oke Kak. Paham.” Kirana tersenyum tipis seraya mengambil kertas itu. Matanya tidak berani menatap Keenan yang dia tahu jelas sedang menatapnya. “Nanti biar aku atasin Kak. Makasih banyak ya Kak.”

“Coba kalo ngomong matanya liat gue.” Seluruh gerak tangan Kirana yang sedang memasukkan kertas ke dalam amplop terhenti. Ada 3 detik sebelum pelan-pelan mata Kirana merambat naik untuk bertemu milik Keenan yang menatapnya dalam. Sontak membuat air mata Kirana berdesakan. “Lo kalo bingung emang lucu. Tapi jangan bingung sendirian, Kirana. Minta tolong. Nggak dosa kok minta tolong orang — gue. Kan gue udah bilang kalo gue bakal — ”

“Ketua himpunan emang ada tugas buat bantu bayarin denda asuransi orang juga ya Kak?”

Lengang. Sunyi panjang hadir saat keduanya saling tatap.

Pelan-pelan, dua mata Kirana menghangat. Malu. Kirana terlalu malu.

Untuk perasaan hangat yang tumbuh pada Keenan padahal pria itu sudah mengatakan bahwa dia hanya menjalankan tugas sebagai ketua himpunan. Untuk mengakui bahwa dia memang tidak punya apa-apa dan harus meminta pertolongan. Untuk mengakui, Keenan benar.

“Nggak usah nyusahin diri sendiri, Kak. Aku ini juga cuma orang yang nggak sengaja tinggal 1 apartment sama Kak Keenan. Kak Keenan nggak punya tanggung jawab apapun buat bantu aku. Aku yakin semua mahasiswa di sini punya masalah berat masing-masing. Kak Keenan juga.”

“Calon dokter tuh emang cerewet gini ya?” Kirana langsung mengunci mulutnya rapat. Kalimat Keenan memang terdengar bercanda, namun wajahnya kini tidak begitu. “Gue emang nggak punya tanggung jawab buat nolongin utang lo. Semua orang di dunia ini nggak punya tanggung jawab untuk itu. Tapi gue pengen lo tau, bahwa orang-orang di sekitar lo itu nggak sejahat yang lo pikirin.”

Kirana tertegun. Menatap Keenan dengan mata yang menghangat.

“Nggak semua orang di dunia ini nggak peduli sama lo. Ada orang-orang yang lo temuin di perjalanan hidup lo sebagai pertolongan Tuhan untuk jawab setiap doa lo yang minta bantuan. Terus kalo lo nolak, menurut lo Tuhan gimana nanti pas lo doa minta tolong lagi? Lo udah ditolongin malah ngandelin diri sendiri.”

Kirana terdiam. Napasnya pelan-pelan terasa semakin berat walau dia tidak menjawab apa-apa. Dua tatap itu tidak pernah terputus. Keenan seperti baru saja mengambil duri tajam yang tersangkut di kerongkongan Kirana.

Menyakitkan, namun melegakan.

Maka ada jeda lagi di antara keduanya seiring air mata Kirana menggenang. Membuat Keenan menghela napasnya berat.

“Kalo ada yang mau nolongin lo itu jangan ditolak, Kirana.” Suara Keenan melandai lembut, pun tatapnya ikut melunak saat melihat Kirana hampir menjatuhkan air matanya. Keenan tidak tahu, seberat apa hidup Kirana akhir-akhir ini. “Lo bisa pinjem gue dulu. Nanti bayarnya pas lo udah gajian, ya?”

“Tapi aku belum ada kerjaan, Kak.”

“Udah ada. Temen gue punya kerjaan buat lo.” Tatap Kirana memuai. Terlalu banyak, bantuan Keenan terlalu banyak. “Kemaren temen gue bilang lagi ada kerjaan di resto sushi tempat dia kerja. Yang harus lo bawa buat daftar udah gue catet. Nanti lo gue anter ke restonya abis kuliah ya. Biasanya ownernya bakal nanya-nanya dan seleksi dulu. Kalo oke, ya lo bisa kerja.”

“Kak…”

“Boleh teraktir gue kebab lagi kalo lo udah gajian.” Kirana yang tersenyum malah meloloskan satu tetes air mata, yang sigap ibu jari Keenan seka. Mengusap pipi Kirana untuk pertama kalinya.

“Di sini, di negara orang yang kita nggak punya siapa-siapa ini, coba untuk punya satu sama lain ya, Kirana.” Kirana menjatuhkan air matanya lebih banyak. “Lo punya gue. Terus … gue punya lo. Sampe lulus, sampe punya gelar. Sampe … kita bisa pulang ke Indonesia dengan bangga.”

Maka setelahnya, Kirana mengangguk.

“Iya Kak,” katanya yakin. “Sampe … aku jadi dokter ya.”

Lalu Keenan mengangguk. “Iya, sampe lo jadi dokter.” Ada getar di dalam suara Keenan. “Lo harus jadi dokter. Lo harus berhasil jadi dokter.”

--

--

No responses yet