parkisye
3 min readFeb 12, 2025

Kamar Keenan

The Berlin Apartment by

Parkisye

“Pa, P-papa mau kemana?” Kirana remaja yang ada dalam ingatan berlari ketakutan seraya menahan lengan Papa. Dua pupil mata Kirana bergetar, melihat bagaimana Papa sudah membawa tas besar di tangan kirinya. “Pa, Kirana jangan ditinggalin, Pa—Papa!”

Namun Papa tidak pernah berhenti seolah suara Kirana tidak pernah dia dengar. Langkah Papa malah semakin cepat, untuk satu detik, Kirana bahkan berharap Papa sempat menoleh untuk melihatnya, untuk memperhitungkan keberadaanya.

Ada Kirana, Pa. Jangan pergi.

Ada Kirana, tidak bisakah itu menjadi perhitungan untuk Papa tetap tinggal?

Tapi langkah Papa tidak melambat. Wajah Papa berkilat marah, terus melangkah keluar hingga tangis Kirana pecah.

“Pa, ada adek…” setidaknya kalau bukan Kirana, mungkin adiknya lebih penting. “Ada adek, Papa nggak sedih ninggalin adek? Jangan pergi dulu, Pa.”

Dan Kirana tertinggal jauh di depan pintu saat Papa melepas paksa tangannya, meninggalkan Kirana yang tetap berusaha memanggil Papa namun tidak pernah dihiraukan.

Tidak pernah didengarkan.

Kirana tidak pernah terlalu penting untuk dipertimbangkan, bahkan untuk sekedar menoleh dan berpamitan.

Kirana hanya ditinggalkan. Dengan seribu pertanyaan yang bersarang di dalam pikirannya.

“Kirana salah apa?”

Yang semakin lama semakin berubah menjadi, “Maaf, Kirana pasti salah ya, Pa.”

Yang kemudian membuat Kirana selalu ketakutan untuk merasakan hal itu lagi.

Ditinggalkan, dilupakan, dibiarkan bertanya-tanya, salahnya apa?

Maka malam ini juga sama.

Kaki Kirana melangkah berat tepat ketika pintu lift apartmentnya terbuka di lantai 11. Jam dua belas malam, dan dia baru saja sampai di depan pintu untuk pulang.

Langkahnya sempat terhenti ketika menatap pintu masuk yang kemungkinan di dalamnya ada Keenan, seseorang yang dia harap menjelaskan, kenapa dia tiba-tiba ditinggalkan tanpa penjelasan.

Kirana hanya butuh alasan. Kirana hanya butuh sesuatu agar isi kepalanya berhenti memukul dirinya sendiri, menghantamnya dengan satu kalimat yang sama.

Dia pasti melakukan kesalahan besar.

Dia tidak pernah sempat meminta maaf pada Papa saat Papa melangkah, maka dia selalu berpikir mungkin itu alasan Papa tidak pernah lagi membalas chatnya sampai sekarang.

Maka dia ingin meminta maaf pada Keenan. Untuk apapun, dia ingin meminta maaf.

Napas Kirana mulai terasa berat bahkan sebelum dia berani untuk masuk. Matanya pelan-pelan menghangat, sesaat melihat sekantung plastik di tangan berisi 3 kotak besar sushi dari Rania, sebelum akhirnya menarik napas untuk,

Klak

Kirana membuka pintu apartment, untuk kemudian dipertemukan pada ruang tengah yang kosong tanpa siapa-siapa.

Tatapnya berpendar pada sekeliling ruangan. Dia melangkah pelan untuk melihat pada area dapur, yang juga kosong tanpa Keenan.

Untuk 3 detik, dia hanya berdiri di sana sebelum akhirnya menoleh pada pintu kamar Keenan yang tertutup, menimbang, haruskah dia mengetuk pintu kamar itu sekarang?

Setelah ratusan pesannya yang Keenan abaikan, setelah semua cerita sedih yang dia utarakan, sanggupkah dia meminta penjelasan Keenan?

Maka setelah menghimpun keberanian, langkahnya bergerak mendekati pintu itu. Tangannya mengepal sebelum akhirnya pelan-pelan terangkat. Namun baru juga dia akan mengetuk pintu itu, tiba-tiba …

Klak

Tubuh Kirana mematung saat pintu Keenan malah terbuka lebih dulu. Tangannya menggantung di udara, namun matanya terpaku pada Keenan yang kini ada di depannya.

Kedua tatap itu bertemu, tidak terputus walau tidak ada satupun yang duluan berbicara. Kedua mata mereka memerah, entah untuk alasan apa, Kirana menahan tangisnya.

“K-kak …”

“Kalo gitu aku pulang dulu ya, Kak.” Mata Kirana langsung beralih pada seorang wanita yang kini muncul di belakang Keenan, tersenyum pada Keenan tanpa menghiraukan Kirana yang berdiri di sana. “Makasih untuk malem ini, Kak.”

Dan air mata Kirana jatuh begitu saja.

Satu, dua, tiga, sebelum akhirnya Kirana menunduk untuk mengusap cepat air matanya.

Ah, jadi ini alasannya.

“Dari Kak Rania, Kak.” Mata Keenan baru beralih pada plastik sushi di tangan Kirana saat wanita itu mengulurkannya. “Katanya buat dimakan sama Sasa juga.”

Lalu Kirana langsung berbalik tepat saat tangan Keenan mengambil sushi itu dari tangannya, berjalan pada kamarnya sendiri. “Pamit ke kamar dulu ya, Kak.”

Maka hari itu Kirana tahu, dia sudah ditinggalkan lagi. Seperti Papa, dia sudah ditinggalkan lagi.

No responses yet