parkisye
6 min readFeb 17, 2025

Halte Bus — Campus Mitte

The Berlin Apartment by

Parkisye

Kirana selalu tahu, bahwa kuliah di Jerman tidak akan pernah menjadi mudah.

Hidup di negara orang tanpa siapa-siapa, tidur dengan menatap langit-langit kamar hanya untuk menghitung uang di tabungan sisa berapa, lalu mencoba terlelap dengan sebuah harapan bahwa … semuanya akan baik-baik saja.

Namun selalu ada hari yang lebih berat dari biasanya hingga rasanya terlalu lelah.

Selalu ada hari yang lebih membingungkan dari hari biasanya hingga pertanyaan di dalam kepalanya terlalu banyak.

Selalu ada hari dimana … air matanya jatuh lebih banyak.

Seperti hari ini. Seperti saat ini.

Kalau tidak, tante terpaksa harus suruh Mama dan adik kamu keluar dari rumah.

Lalu,

Kak Keenan kemana, ya?

Aku salah apa, ya?

Besok cari uang untuk Mama kemana, ya?

Dulu Papa pergi, kenapa ya?

Dan seribu pertanyaan lain yang bergemuruh riuh di dalam kepalanya hingga rasanya pusing.

Keenan jelas tidak salah karena memilih pergi, mama jelas tidak salah karena tidak meminta untuk diberikan sakit, papa juga mungkin tidak salah karena sudah tidak cinta lagi.

Yang salah di sini hanya Kirana, dan juga segala perasaanya.

Maka pelan-pelan Kirana menyandarkan kepalanya pada meja perpustakaan hanya untuk meredam riuh.

Matanya mengerjap lambat, menatap nanar pada ruang kosong hingga napasnya memberat. Pandangnya mulai memburam, lalu air matanya mulai menggenang.

Maaf, Kirana hanya sedang kelelahan.
Apa pulang aja, ya?

Apa nyerah aja, ya?

Apa emang nggak akan bisa jadi dokter, ya?

Kirana lelah sekali. Sungguh, Kirana tidak pernah tidak lelah, hanya saja hari ini, segalanya terlihat jauh lebih melelahkan.

Pagi tadi, dia sengaja berangkat jam enam pagi hanya untuk mengejar bus
dan menghindari Keenan, makan dua potong roti selai coklat yang dia bersumpah akan menggantinya karena dibeli dari uang belanja Keenan, lalu mengejar semua ketinggalan belajarnya karena kemarin dia habiskan untuk bekerja di restaurant sushi.

Tubuhnya lelah sekali.

Perjalanan ini rasanya terlalu panjang,
Kirana bahkan tidak bisa melihat ujung lintasan hingga pacu larinya terasa sia-sia.

Apa memang jadi dokter itu hanya sebuah cita-cita yang bisa dimimpikan anak-anak, ya?

Karena dewasa selalu melemparnya kembali pada kenyataan, bahwa dia tidak kaya raya.

Maka setelah membiarkan satu tetes air matanya jatuh di atas meja perpustakaan, Kirana menarik napas panjang.

Tubuhnya bangkit, pelan-pelan membereskan buku-bukunya yang berserakan, lalu memutuskan untuk pulang.

Sudah hampir jam 4 pagi waktu Berlin, perpustakaan justru menjadi semakin ramai. Sebagai bukti nyata bahwa bukan hanya Kirana yang sedang berjuang.

Kaki Kirana melangkah keluar perpustakaan setelah menyampirkan tas ransel beratnya di pundak.

Tumitnya sedikit mati rasa karena kemarin dia pakai berdiri sepanjang membuat pesanan sushi, namun tidak dia hiraukan untuk terus berjalan lagi.

Langit masih gelap, halte bus dari kampus cukup jauh hingga dia hanya berjalan lambat.

Lalu angannya mulai membawanya berkelana, pada ingatannya ketika dia berjalan di sini bersama Keenan di bawah satu payung yang sama.

Mungkin, jika nanti semesta benar-benar memaksanya untuk menyerah, maka dia berjanji akan menyimpan secuil kenangan bersama Keenan dalam ingatan yang paling indah.

Mungkin, jika suatu hari nanti semesta benar-benar menyuruhnya pulang ke Indonesia tanpa gelar apa-apa, dia akan menceritakan pada Mama, bahwa sempat ada seorang pria di kota Berlin yang membuatnya percaya, bahwa tidak semua pria sejahat Papa.

Mungkin, bahkan sampai detik ini, Kirana masih ingin percaya, Keenan tidak sejahat itu.

Maka langkah demi langkah yang Kirana ambil malam ini pun terasa lebih berat dari biasanya.

Satu langkah, maka napas Kirana mulai terasa sesak ketika dia melewati jalan di mana dia sempat tertawa bersama Keenan.

Dua langkah, maka pandang Kirana mulai mengabur saat Kirana mengingat bagaimana Keenan pernah menenangkan segala takutnya kala itu.

Tiga langkah, lalu gerak kakinya terhenti tepat beberapa langkah dari halte bus yang dia tuju ketika kini, dia menemukan Keenan sudah berdiri di sana dengan menempelkan ponsel di telinga, menatap Kirana yang kini tertegun menatapnya.

Dua tatap itu saling menyapa.

Setelah Kirana berhari-hari berusaha untuk mendapatkan sekedar balasan pesan dari Keenan, setelah ratusan pesan yang Kirana harap tidak Keenan abaikan, setelah lelahnya, setelah takutnya, kini Keenan ada di sana, berdiri menunggu Kirana hingga air mata wanita itu menggenang.

Dua tatap itu terpaku lama hanya untuk saling tatap.

Sampai,

“Kirana …”

Air mata Kirana langsung jatuh. Satu, dua, tiga, lalu semakin banyak hingga air mata Keenan ikut berdesakan. Keenan tidak tahu, setakut apa Kirana karena ditinggalkan lagi.

“Na…”

Lantas pelan-pelan satu tangan Kirana bergerak merogoh saku tanpa memutus tatap keduanya. Jemarinya mengambil sisa uang koin terakhirnya untuk dia genggam, sebelum mengulurkannya pada Keenan dengan tangan yang gemetar.

“Aku … tadi ambil 3 potong roti punya Kak Keenan.” Air mata Keenan jatuh hingga bibir Kirana bergetar. “Maaf.” Suara Kirana mengecil, bersama air matanya yang luruh banyak.

“Maaf, aku cuma bisa kepikiran bahwa salahku adalah karena aku nggak punya apa-apa makanya Kak Keenan pergi. Maaf. Tapi aku pasti ganti sisanya kok, Kak. Sekarang memang cuma itu yang aku punya, tapi aku—”

Ucapan Kirana tidak pernah selesai saat Keenan langsung melangkah cepat untuk membawa wanita itu masuk dalam dekap hingga tangis Kirana pecah.

Luar biasa hingga menggema. Terlalu sakit hingga terisak. Kenapa, kenapa di dunia ini hanya dia yang selalu mengemis untuk seseorang agar tidak pergi. Kenapa hanya dia yang selalu jadi pilihan untuk dibuang.

Kenapa?

“M-maaf, Kak.” Kirana akhirnya punya kesempatan untuk mengatakan itu pada Keenan, membuat Keenan harus mendongak untuk menahan air matanya. “Maaf, untuk alasan apapun yang buat Kak Keenan benci aku, maaf.”

“Kirana …” Keenan mengeratkan dekapnya ketika isak Kirana semakin kuat. Suaranya ikut serak.

“Kalo ada orang yang harus lo benci di dunia ini, itu gue. Kalo ada orang yang harus lo salahin, itu juga gue. Tapi jangan pernah nyalahin diri lo sendiri, ya? Biar gue aja.”

Kirana menggeleng dalam dekapan Keenan. “Aku c-cuma pengen tau, Kak.” Kirana terisak, matanya terpejam di dalam sana.

“Kenapa semua orang semudah itu ninggalin aku sedangkan aku selalu jadi orang yang mohon-mohon untuk seseorang tetap tinggal.”

Bertahun-tahun hanya memikirkan, akhirnya Kirana berani untuk menanyakan.
Pada seseorang, pada Keenan, dan mungkin pada Papa. Kenapa? Kenapa selalu dia orangnya.

Tidak adakah sesuatu darinya yang bisa membuat seseorang merasa berat melupakannya?

“K-kenapa selalu aku, k-kenapa selalu aku yang jadi pilihan paling mudah untuk dibuang saat dunia lagi berat. Untuk sekali … aja, Kak. Aku pengen ada orang yang nggak pergi. Satu aja. Aku nggak minta banyak. Cukup satu.”

Maka pelan-pelan Keenan mengurai dekapnya untuk melihat wajah basah Kirana, lalu menangkup dua pipinya, menatap wanita itu dengan mata merahnya.

“Kirana …” Keenan bergumam serak, membuat Kirana balas menatap dengan isak yang masih ada. “Gue … orang jahat, Na.”

Keenan menjeda, menyisakan waktu untuk Kirana bereaksi akan itu. “Gue bukan orang baik kayak yang selalu lo bilang ke gue. Mungkin nggak akan pernah bisa jadi orang baik kayak yang selalu lo pikirin ke gue. Gue capek berusaha buat bikin diri gue sendiri keliatan baik. Jadi gue pengen lo tau, gue jahat.”

Ada diam yang Keenan lakukan untuk meredakan gemuruh di hatinya sendiri. Dia kebingungan bagaimana cara menyampaikan, namun dia ingin Kirana tahu, dia jauh dari kata baik.

“Kak Keenan … nggak jahat.”

“Gue orang jahat, Na.” Keenan kembali mengulangi dengen bergumam parau. “Tapi boleh nggak, orang yang jahat ini, jadi orang yang nemenim lo sampe akhir?”

Air mata Kirana jatuh lagi. Hatinya berdenyut nyeri mendengar Keenan mengatakan itu. Entah kenapa, rasanya sakit sekali.

“Gue … nggak bisa jadi orang sebaik yang lo pikirin, tapi kalo lo bisa nerima orang jahat ini untuk ada disisi lo, gue janji akan jadi orang yang nggak pergi kayak yang lo mau.”

Keenan mengeraskan rahang untuk mempertebal pertahanan. Air matanya hampir jatuh juga. “Tapi gue mau lo tau, gue jauh dari kata baik.”

Maka pelan-pelan tangan Kirana terangkat untuk menyentuh ujung mata Keenan, mengusap air mata yang sempat keluar dari sana.

“Kak Keenan orang jahat.” Keenan terdiam untuk kalimat yang satu itu. Namun dia membiarkan jemari Kirana menangkup pipinya. “Tapi aku mau orang jahat yang ini nggak pergi lagi.” Maka air mata Keenan jatuh.

“Nggak apa-apa jahat, tapi aku mau yang jahat ini bales pesan aku lagi.” Lalu matanya menatap Keenan dalam-dalam. “Ya, Kak?”

Lantas Keenan langsung kembali membawa Kirana dalam dekap yang dalam. Erat, hingga Kirana membalas seraya terpejam untuk menikmati hangat.

“Aku lagi peluk cowok jahat.” Dan Keenan terkekeh sumbang, sebelum ikut terpejam memeluk wanita itu. “Makasih udah ke sini, Kak.”

“Lo nggak tau seberapa panik gue nyari lo dari tadi, Kirana,” gumam Keenan berbisik serak. Kirana juga tidak tahu, sepanik apa pria itu sampai-sampai datang ke kampus jam 4 pagi. “Calon dokter emang paling pinter bikin orang kepikiran.”

Maka Kirana tersenyum.

Entah apa sebutan dari hubungan mereka ini, namun Kirana merasa sangat cukup.

Selama Keenan tetap di sisinya, dia … merasa cukup.

No responses yet