Bus Nomor 147

parkisye
4 min readJan 27, 2025

--

The Berlin Apartment by

Parkisye

“Lagi pengen ngobrol aja, sama lo. Temenin gue ya.”

Hati Kirana berbunga.

Di sepanjang perjalanan bus nomor 147 membawanya dan Keenan menuju ke tempat yang Kirana bahkan tidak tahu, wanita itu terlalu sulit menahan degub jantungnya.

Bagaimana tidak, kemarin Keenan baru saja mengusap pipinya dengan jarak wajah yang begitu dekat, menatap matanya, tersenyum padanya. Tatapnya bahkan tidak sopan karena sempat tergelincir pada bibir pria itu, sebelum merambat naik pada dua mata Keenan.

Kirana sempat bertanya-tanya, apakah melakukan hal se-mendebarkan itu memang selalu mudah untuk Keenan? Karena untuk Kirana, dia bahkan sulit untuk bernafas lega.

Apakah untuk Keenan … perasaan gugup itu tidak sama?

Maka di sepanjang bus melaju menjauhi halte dari apartment keduanya, wanita itu sebisa mungkin menatap jendela agar rona pipi merahnya tidak perlu Keenan lihat.

Agar riuh isi pikirannya tidak perlu dia tanyakan pada Keenan.

Namun,

“Mau denger lagu nggak?” Keenan yang kini duduk tepat di sebelah Kirana menoleh, dua bahu mereka bersentuhan, dan Kirana terlalu kaku untuk menatap wajah pria itu sekarang. “Hei?”

Kenapa untuk Keenan, bicara padanya selalu semudah ini? Kenapa Keenan tidak harus mengepalkan tangan hanya untuk meredakan senang di dalam hati? Kenapa … hanya dia yang merasa sesenang ini?

“Ini dipanggil kok nggak nengok ke gue ya?” Keenan malah menelengkan kepala untuk mencari tatap Kirana. Semakin jauh Kirana membuang tatap, semakin dekat Keenan mencari mata wanita itu.

“Lo lagi kenapa Kirana?” Tidak tahu, Kirana juga tidak tahu. Dia lagi kenapa sebenarnya? Yang dia tahu, dia menyukai setiap hal yang Keenan lakukan padanya akhir-akhir ini.

Saat Keenan tersenyum ketika menyapa Kirana di dapur, saat Keenan menatapnya dalam untuk menjelaskan sesuatu, saat Keenan muncul di depan kampusnya sambil membawa payung.

Segalanya terasa menyenangkan untuk Kirana. Segalanya terasa mendebarkan. Kirana mulai tidak tahu diri untuk berharap Keenan hanya melakukan semua itu dengannya.

Kirana mulai kewalahan.

“Kok gue nanya dari tadi nggak ada yang dijawab ya?” Tidak sabar dengan respon Kirana, Keenan malah menangkup pipi Kirana untuk membawa tatap wanita itu padanya. Membuat Kirana harus meremas ujung jaketnya.

“Kalo lagi ngomong itu dijawab dong guenya, Kirana. Kok gue dicuekin, kenapa sih?”

Malam itu, dua mata Kirana bergerak pada dua mata Keenan di dalam bus yang hening. Suara derasnya hujan menjadi pengisi sunyi di antara keduanya yang masih saling tatap. Kirana menerka, apakah ada secuil rasa gugup di mimik wajah Keenan untuk sebuah harapan.

Namun tidak ada.

Yang Kirana temukan hanya gurat lelah dan redup mata Keenan yang menatapnya.

Walau begitu, Keenan tersenyum lemah tanpa melepas tangannya di pipi Kirana, seolah ini adalah hal yang biasa. Atau mungkin, ini memang hal yang biasa untuk Keenan.

“Nggak nyuekin, Kak.” Kirana balas tersenyum samar. Dia mengerti, seharusnya dia tidak menyukai Keenan secepat ini. “Cuma suka liat jalanan kalo lagi di bus gini. Berlin cantik banget, Kak. Apalagi kalo lagi hujan.”

Mata Keenan tidak lepas dari mata Kirana yang menghangat. Tiba-tiba rasanya sesak. Kirana ingin sekali bisa dengan lantang mengatakan, betapa berterima kasihnya dia karena Tuhan membawa Keenan dalam hidupnya.

Sebuah bentuk nyata dari doa-doa Kirana untuk meminta penghiburan atas segala sedihnya. Karena tidak ada yang tahu, seberapa porak-poranda dunia Kirana sebelum ini.

“Liat jalanan kok matanya merah?” Suara Keenan serak, pelan, yang malah membuat Kirana semakin kuat menahan sesaknya. Entah kenapa, Keenan terlihat sama sesaknya. “Lo lagi capek juga?”

Sempat menutup mata untuk 2 detik guna menahan genang air mata, Kirana menggeleng. “Lagi seneng malah Kak.”

Senang, Kirana senang sekali. Ada yang ingat untuk memanggil namanya setiap hari, dia senang sekali.

Karena Mama yang kini terkena penyakit demensia otak hanya akan mengingat nama adiknya setiap kali Kirana menelpon via sambungan vidio call, dan Papa bahkan tidak mau membalas pesannya walau dia sudah berulang kali mencoba.

Kirana sendiri. Benar-benar hanya sendiri.

“Lagi seneng banget. Udah lama nggak ngerasa seseneng ini. Jalan-jalan kayak gini. Makasih ya Kak Keenan.”

Keenan mengerjap lambat. Ada hembus napas berat yang pria itu lakukan sebelum tersenyum lembut.

“Gue juga seneng banget.” Keenan membasahi bibir untuk mempertebal pertahanan. Banyak juga riuh dalam kepala Keenan yang tidak bisa didengar banyak orang. “Makasih ya Kirana. Makasih udah nemein gue malem ini. Gue lagi capek banget, pengen hirup udara seger biar enakan.”

Lalu Keenan sempat mengusap ujung mata Kirana yang basah. “Jalannya masih jauh, mau sambil dengerin lagu nggak?”

Kirana mengangguk samar. Matanya sibuk membingkai detail wajah Keenan. Bus melaju, namun entah kenapa dunia terasa berhenti untuk Kirana. “Kalo gitu gue pilihin lagunya ya? Lagu yang cocok buat lo liatin ujan.”

Satu tangan Keenan mengambil ponsel dari saku, lalu memasangkan earphone kabel hingga Kirana terkekeh serak. Sukses membuat Keenan menoleh.

“Apa? Lo mau ngejek headset kesayangan gue?”

Kirana terkekeh lebih kuat. “Nggak, Kak. Cuma emang Kak Keenan nggak ada niatan pake headset yang udah agak modern ya? Aku malah heran masih ada yang jual headset model pake kabel gini.”

“Dibilang ini kesayangn gue.” Keenan memasangkan satu headset pada telinga kanannya, sebelum memasangkan satu yang lain pada telinga kiri Kirana. Dua tatap itu bertemu lagi. “Tapi mulai hari ini, lo gue bolehin pake kesayangan gue. Juga denger lagu kesukaan gue.”

Keduanya sesaat meredakan senyum hanya untuk saling tatap. Yang kemudian Keenan patahkan dengan menunduk pada ponselnya.

“Dengerin ya.” Maka Kirana mengangguk.

Keenan langsung memilih sebuah lagu dari playlist dalam ponselnya. Kirana hanya menunggu. Lalu,

If I could, I’d freeze this moment, make it my home
You’re all I want to want to know
I can tell, you mean it when you kiss me slow
But please, don’t ask me, the answer’s no

In a perfect world, I’d kill to love you the loudest
But all I do is live to hurt you soundless
Say you see I’m lying, babe, and let this go
I can never promise you tomorrow

Lagu Anaheim by Niki terputar, bersamaan dengan hujan di luar yang semakin deras hingga Kirana menarik napasnya.

Bersama dengan Keenan di sebelahnya, bersama kenangan yang akan Kirana ingat selamanya.

Dan detik itu Kirana pun tahu, dia mungkin hanya akan menyakiti diri sendiri atas perasaanya pada Keenan.

--

--

No responses yet