Berliner Dom

parkisye
6 min readJan 30, 2025

--

The Berlin Apartment by

Parkisye

Berlin malam hari.

Kirana mengikuti Keenan yang kini duduk di sisi sungai dengan pemandangan katup Berliner dom yang menyala remang. Pukul sepuluh malam, dan keduanya memutuskan untuk berdiam bersama basah sehabis hujan.

Semenjak Kirana menyadari Keenan yang lebih diam dari biasanya, setelah Kirana melihat raut lelah di wajah Keenan yang tidak seceria biasanya, Kirana memutuskan untuk hanya menemani Keenan dan diamnya.

“Gue lagi capek banget, makanya pengen keluar aja biar agak seger.”

Itu adalah jawaban Keenan saat Kirana bertanya kenapa harus dirinya yang Keenan ajak keluar bersama. Sedikit hati kecil Kirana ingin sekali mendengar alasannya karena Keenan ingin bersama wanita itu, namun pasti dia terdengar tidak tahu diri sekali.

Siapa Kirana untuk Keenan menginginkannya seperti itu?

Siapa Kirana untuk mengharapkan hal semewah itu? Karena untuk Kirana, sebuah perhatian kecil adalah sesuatu yang mewah. Yang harus dia usahakan banyak hanya untuk mendapat sedikit.

Untuk Kirana, seseorang yang bisa mengingat nama lengkapnya saja terasa mewah. Terlalu mahal hingga Kirana merasa tidak sanggup membayarnya.

Kirana sudah biasa mendengar Mama memanggilnya dengan semua nama selain namanya. Dengan nama adiknya yang selalu Mama khawatirkan karena belum pulang walau sudah malam, dengan nama teman lamanya yang beliau rindukan, dengan nama ponakan perempuan yang tinggal satu rumah dengannya.

Kirana sudah biasa tidak diingat seseorang. Bahkan orang tuanya sendiri.

Maka ketika kini ada Keenan yang selalu menyebut namanya dengan lengkap, rela berlari di sepanjang lorong peron hanya untuk menghampirinya, membawakan payung saat hujan begitu derasnya. Kirana mulai menginginkan Keenan melakukan itu semua hanya untuknya.

Untuk sekali ini saja, dia ingin menikmati hal mewah itu tanpa berbagi pada siapa-siapa.

Maka di tengah sunyi kota Berlin jam sepuluh malam, Kirana pelan-pelan menoleh untuk menatap satu sisi wajah Keenan. Matanya mengerjap lambat, pelan-pelan terasa hangat karena tahu, dia terlalu miskin untuk semua mahal perhatian Keenan.

Sampai,

“Lo … kenapa mau jadi dokter?” Keenan yang kini ikut menoleh sempat membuat Kirana terdiam. “Dari semua kerjaan yang ada di dunia, kenapa mau jadi dokter?”

Kirana tidak langsung menjawab. Isi pikirannya seketika berlarian kesana kemari untuk menemukan jawaban yang tepat. Membuat Keenan dengan sabar menunggu sambil menatap.

“Lo bisa jadi pengusaha, bisa jadi pegawai kantoran yang pulang kerja di jam lima sore, bisa jadi artist, bisa—”

“Mama.”

Lengang.

Ada lengang panjang yang mengisi sunyi di antara keduanya. Keenan jelas tidak menerka alasan itu.

“Lo … dipaksa nyokap ambil kedokteran?”

Kirana tersenyum lembut sambil menggeleng. “Kak Keenan dulu waktu kecil … jawab apa waktu ditanya soal cita-cita?”

Kirana mulai menatap nanar jauh ke depan, mengingat lagi masa-masa kecil di mana cita-cita adalah hal yang bisa diucapkan dengan lantang. “Soalnya dulu waktu aku ditanya cita-citanya apa, aku jawabnya mau jadi dokter. Makanya aku mau jadi dokter.”

“Cita-cita anak kecil kan emang cuma tau itu aja, Kirana,” suara Keenan melandai lembut. “Mereka nggak pernah tau kalo jadi pengusaha itu uangnya lebih banyak, nggak tau kalo ada kerjaan namanya pengacara. Mereka emang taunya cuma dokter sama arsitek.”

“Aku sama Kak Keenan dong?”

“Calon dokter emang pinter jawabnya.” Keduanya terkekeh pelan. Udara semakin dingin, sehingga Kirana menarik napas panjang sebelum melanjutkan.

“Aku pengen jadi dokter karena Mama, Kak.” Kirana bergumam gamang hingga senyum Keenan lenyap. Ada denyut nyeri yang pria itu rasakan saat suara Kirana mengecil.

“Mama nggak pernah ngetawain impian aku waktu aku bilang aku mau jadi dokter. Waktu itu di kamar lagi mati lampu, tapi aku mggak pernah kepanasan karena Mama ngipasin aku pake koran bekas. Cuma ada satu lilin yang sisa separuh, banyak nyamuk.”

Kirana yang terkekeh sumbang membuat mata Keenan terasa hangat. Walau gelap, dia bisa melihat jelas ada genang air di mata Kirana.

“Kata Mama, kalo mau jadi dokter berarti belajarnya harus pinter, soalnya yang jadi dokter cuma orang-orang pinter. Tapi Mama nggak pernah bilang kalau harus kaya.” Kirana mendongak, menatap bintang malam agar tidak perlu menangis. Dia rindu Mama.

“Mama … dulu cuma pegawai negri biasa, Kak. Makanya waktu aku lulus SMA, Mama bilang kuliah ke Jerman aja, karena kata anak temennya, di sini kuliahnya gratis, bisa kerja part time untuk cari uang, cuma persiapan ke sini aja yang bayar.”

Pandang Kirana memburam, napasnya mulai memberat. Mengingat Mama selalu menjadi hal yang membuat dadanya sesak.

“Mama bilang … Kirana, sisa uang Mama cuma cukup untuk persiapan Kirana berangkat, tapi Kirana harus jadi dokter, ya?

Satu tetes air mata jatuh di pipi Kirana, yang dengan lembut Keenan seka hingga Kirana terpejam saat merasakan sentuh tangan Keenan. Hangat. Di tengah Berlin yang dingin, juga setiap cerita yang terasa pahit, sentuh Keenan hadir dalam hangat.

“Mama bilang, Mama nggak pernah ngerasain gimana rasanya kuliah karena harus nikah sama Papa, jadi … yang jadi sarjana harus aku.” Kirana menunduk saat air matanya tidak berhenti, berbanding terbalik dengan Keenan yang terus menatapnya begitu dalam. “M-mama bilang … kalau aku pinter, nanti dapet suami yang pinter juga, nggak kayak Papa.”

“Kirana …”

“Tapi aku heran deh, Kak.” Kirana menatap Keenan dengan isak lirihnya. “Kenapa belum juga aku berhasil jadi dokter, Tuhan udah bikin mama nggak inget aku, y-ya?” bibir Kirana mulai bergetar. Dia akhirnya bisa meluapkan kekesalan setelah sekian lama hanya menerima keadaan.“Jahat n-nggak sih, Kak? Dunia jahat banget sama aku.”

“Na …”

“Mama kena demensia otak, Kak.” Tangis Kirana yang pecah membuat tangan Keenan pelan-pelan membawa Kirana masuk dalam dekapnya, memeluknya, membiarkan wanita itu menumpahkan sesak yang selama ini hanya dia pendam sendirian. “M-mama nggak inget ada anaknya yang mau jadi dokter.”

“Inget, Mama pasti inget.” Keenan terpejam saat mendengar isak Kirana dalam dekapnya. Akhirnya, akhirnya ada tempat aman yang Kirana rasa untuk menumpahkan tangisnya. “Jauh di dalem ingatan nyokap lo, dia pasti inget. Tapi kalopun nggak, gue yang nanti bakal ngingetin nyokap lo, ya, bahwa anaknya di sini hebat banget. Anaknya yang namanya Kirana Arunika hebat banget.”

Kirana semakin terisak. Ma, anaknya yang ini hebat banget, Ma. Mama harus liat.

“Tante, ini anaknya lagi nangis, tapi dia hebat banget.” Keenan mengeratkan dekap ketika suaranya ikut parau. “Anaknya mau jadi dokter karena tante, tante sehat-sehat ya, nanti kita liat Kirana jadi dokter sama-sama.”

“K-kak …”

“Calon dokter emang harus pinter, tapi nggak harus nahan nangis, Kirana.” Tangan Keenan mengusap lembut puncak kepala Kirana. “Tenang ya, ada calon arsitek yang bakal nemenin lo sampe jadi dokter.”

Maka pelan-pelan Kirana mengurai dekap untuk menatap Keenan. Dua tatap itu bertemu, membuat dua tangan Keenan pelan-pelan menangkup pipi basah Kirana, lalu tersenyum dengan lembutnya.

“Calon dokter air matanya banyak banget, pusing nggak kepalanya?” Kirana membiarkan tangan pria itu mengusap ujung matanya, lalu mendekatkan wajahnya. “Mm?”

Kirana menggeleng. “Kak …”

“Udah lega belum?” Keenan rasanya terlalu sibuk untuk tahu Kirana ingin mengatakan sesuatu. “Masih mau dipeluk nggak?”

“Kak Keenan,” dengan isak yang tersisa Kirana memanggil. “Kak.”

“Iya, Kirana …” maka Keenan mulai suka memanggil nama itu. “Ada yang masih mau diceritain lagi?”

Dua mata Kirana bergerak di dua mata Keenan bergantian. Wanita itu menimbang, sampai,

“Mama kena demensia otak karena P-papa, Kak.” Entah kenapa, tangan Kirana harus meremas ujung kaus Keenan untuk melanjutkan. “Papa … pergi, Kak, sama perempuan lain. Mama stress dan kepikiran, tekanan darahnya tinggi, berujung pecah pembuluh darah sampai harus oprasi. Mama berhasil sembuh dari oprasi, tapi malah lumpuh dan kehilangan potongan-potongan ingatannya. Semuanya … karena Papa, Kak.”

Untuk yang satu itu, Keenan tidak bersuara. Mata Kirana yang bergetar cukup membuat suaranya hilang.

“Kak Keenan … nggak akan jahat kayak Papa, kan?” Dan kata-kata itu sontak mematik api ingatan Keenan pada dirinya yang tidak pernah baik. Apapun yang sudah dia lakukan, apapun yang sudah dia usahakan, Keenan selalu menghukum dirinya dengan mengatakan dia bukan orang baik. “Kak Keenan … nggak akan pergi juga kayak Papa, kan?”

Maka pelan-pelan tangan Keenan yang ada di pipi Kirana terlepas begitu saja. Terjatuh di pangkuan tanpa menjawab apa-apa. Membuat Kirana kini melanjutkan,

“Jangan ya, Kak? Aku … butuh Kak Keenan.”

--

--

No responses yet