Berlin dari Bingkai Jendela
The Berlin Apartment by
Parkisye
Setelah menarik napas panjang di belakang pintu, Kirana pelan-pelan membukanya. Wanita itu sesaat mengintip dari celah yang melebar, sebelum tertegun melihat Keenan yang berdiri dengan membawa 2 gelas teh di tangan.
“Akhirnya dibuka juga pintunya.” Keenan masih di sana saat Kirana membuka penuh pintu itu. “Udah boleh masuk belum guenya?”
Tatap Kirana bergulir pada gelas teh di tangan Keenan, masih ada uap hangat yang keluar dari sana.
“Sini biar aku bawa satu, Kak.” Kirana sudah akan mengambil salah satunya, namun Keenan malah melangkah masuk melewatinya.
“Bawa ginian tuh tugas cowok.” Keenan melangkah lebih dalam, meninggalkan Kirana yang masih menimbang, dia harus menutup pintu kamar atau tidak sekarang.
“Gue buatin teh karena tadi lo nangisnya lama, takut kepala lo pusing.” Keenan berhenti, lalu menoleh saat dia sudah sampai di depan jendela kamar yang kacanya terbuka. “Ngobrol di sini aja, ya?”
Maka Kirana mengangguk setelah memutuskan menutup pintu, lalu berjalan mendekat pada Keenan.
“Ini chamomile tea.” Keenan mendorong satu gelas yang dia taruh di sisi jendela.
Ada balkon kecil di setiap kamar mereka, juga ada sedikit lebihan semen pada jendela yang bisa mereka pakai untuk menaruh dua gelas, atau untuk…
“Kak!” Mata Kirana membulat saat Keenan malah naik pada jendela untuk duduk di sana, membiarkan dua kakinya mengayun keluar, sebelum menoleh pada Kirana.
“Sini, duduk sini sama gue.” Keenan menepuk tempat kosong di sebelahnya, meminta Kirana duduk bersamanya. “Berani nggak naiknya?” Lalu dia mengulurkan tangan pada Kirana. “Gue pegangin.”
Dalam 3 detik, Kirana hanya mengerjap. Sebelum akhirnya meraih tangan Keenan untuk naik, lalu duduk tepat di sebelah pria itu. Menatap satu sama lain di bawah langit Berlin dini hari.
Keenan tersenyum lebih dulu, sebelum satu tangannya pelan-pelan terangkat untuk mengusap lembut puncak kepala Kirana.
“Pusing nggak kepalanya?” Kirana menggeleng samar. “Diminum coba tehnya, kata orang di sini chamomile tea enak diminum kalo abis nangis.”
Kirana menurut, tangannya mengambil gelas untuk dia berikan pada Keenan, lalu mengambil untuknya sendiri.
Kemudian, sunyi.
Keduanya menatap nanar pada gedung-gedung apartment lain di depan mereka dalam bingkai jendela kamar.
Ada hening yang nyaman hadir di antara keduanya. Angin malam musim gugur menyapa, menggerakkan rambut Kirana hingga wanita itu menaikkan bahu, lalu meneguk tehnya.
Untuk beberapa detik, dunia Kirana terasa baik-baik saja. Bersama Keenan, Kirana selalu merasa begitu. Sampai,
“Jadi … beberapa hari ini Kak Keenan tiba-tiba pergi … kenapa?” Kirana bertanya pelan, walau ragu, dia ingin tahu. “Aku … boleh tau alasannya?”
“Karena lo tanya gue, apa gue nggak akan sejahat bokap lo apa nggak.” Keenan menjawab tanpa menyambut tatap Kirana. Dia menunduk, melihat cangkir teh di tangan.
“Gue udah bilang, gue orang jahat. Gue nggak tahu apa gue bakal sejahat bokap lo atau nggak, tapi yang jelas, gue bukan orang baik.”
Keenan menjeda, sebelum akhirnya menoleh.
“Tapi sejahat-jahatnya gue untuk berusaha ngejauh dari lo, ternyata gue nggak bisa nggak panik kalo lo belum pulang padahal udah jam 3 pagi.”
Kedua tatap itu terpaku lama pada satu sama lain. Detik ini, Keenan menatap Kirana dalam sekali.
“Gue … pengen bales chat lo, semuanya.” Dua mata Kirana menghangat mendengar itu.
“Gue pengen bales semua chat lo, bilang kalo lo nggak salah, bilang kalo lo nggak perlu minta maaf, bilang kalo lo nggak sendiri, ada gue. Tapi gue takut kalo lo masih nganggep gue orang baik. Gue pengen diterima, walau mungkin gue orang jahat.”
Kirana masih diam. Mata keduanya memerah hingga air mata Kirana menggenang. Keenan masih abu-abu, namun Kirana bisa melihat jujur di raut wajahnya.
“Gue orang jahat yang mau ngejauhin lo, tapi ternyata orang jahat ini yang malah nggak bisa jauh dari lo. Jadi kalo boleh, biarin gue deket sama lo aja, ya?”
Satu tetes air mata Kirana jatuh, yang dengan lembut ibu jari Keenan usap sebelum menangkup pipi wanita itu, lalu mendekatkan wajahnya.
“Gue ternyata … nggak bisa jauh dari lo.” Keenan berbisik rendah tepat di depan wajah Kirana. “Dan ternyata … gue nggak bisa, kalo nggak bales chat lo.”
Dan wajah Keenan semakin merapat, membuat Kirana langsung mengepalkan tangan saat mengikuti gerak Keenan yang mengikis jarak. Sampai ketika bibir itu akan sampai, Kirana bergumam,
“Kak …” Gerak Keenan terhenti, napasnya mulai berat dengan tatap yang berkabut. “Kak Keenan…”
“Cantik banget, gue nggak kuat.” Keenan berbisik rendah, jemarinya bergerak lembut di pipi Kirana, sebelum menjalar turun untuk mengusap bibir bawah wanita itu. “Boleh, nggak?”
Jantung Kirana seakan ingin meledak.
Dua matanya bergerak di dua mata Keenan untuk mencuri waktu guna memikirkan, dia harus menjawab apa.
Namun dalam 2 detik, Kirana mengangguk, “Boleh.”
Maka tanpa menunggu lama, wajah Keenan pelan-pelan kembali merapat hingga mata Kirana terpejam. Pria itu mengikis jarak, mendekat, membiarkan Kirana bisa merasakan deru napas hangat di kulit wajahnya.
Namun ketika bibir pria itu lagi-lagi akan sampai, tiba-tiba …
TIT — TIT — TIT
Alarm ponsel Kirana berbunyi nyaring hingga dua wajah itu sontak menjauh. Mata Kirana terbuka, sebelum cepat-cepat mematikan ponselnya dengan napas memburu.
“Maaf, Kak. Udah pagi ternyata.” Kirana salah tingkah karena malu. “Maaf banget, aduh…”
Namun Keenan malah terkekeh rendah. “Kenapa panik banget sih mukanya.” Keenan tersenyum menggoda seraya mengikuti tatap Kirana agar menatapnya. “Pipinya merah-merah.”
“Kak, udahan dulu ngeledeknya.”
“Liat gue dulu dong makanya.” Kirana yang terus membuang tatap membuat Keenan semakin mendekat. “Kirana…”
“Kak, kayaknya aku udah harus siap-siap ke kampus sih, ini udah pagi banget. Takutnya kalo lebih lama lagi nanti—”
Ucapan Kirana terhenti saat Keenan malah menangkup dua pipi Kirana, menatap wanita itu, lalu mendekatkan wajahnya untuk menanamkan satu ciuman lembut di kening Kirana hingga wanita itu tertegun.
Satu detik, dua detik, lalu wajah Keenan menjauh untuk berbisik,
“Ke kampusnya hati-hati ya, Kirana,” gumam Keenan serak. “Mulai sekarang, gue … udah nggak bisa jauh lagi dari lo. Jadi biasain ya, gue akan jadi satu orang yang lo harap nggak akan pergi walau dunia lagi berat. Gue janji, gue nggak akan pergi lagi.”