“Taraa! Lihat, ini sepeda untuk Saga.” Ayah yang ada jauh dalam ingatan Saga itu tersenyum seraya mendorong sebuah sepeda bekas ke depan Saga kecil yang hanya berdiri, melihat bagaimana rantainya masih celemotan dengan oli karena baru Ayah perbaiki. “Sekarang, Saga bisa main sepeda sama temen-temen Saga. Saga suka nggak?”
Saga kecil yang baru berusia 7 tahun itu mengangguk. Walau tidak dengan senyum, Ayah tahu Saga senang sekali. Tangannya mulai memegang salah satu sisi stang, seiring matanya menatapi seluruh bagian sepeda. Meneliti.
Bagus.
Sepeda dari Ayah bagus.
“Ini tadi rantai dan rem-nya udah Ayah benerin.” Ayah yang kaus putihnya terlihat kotor memutar goesan kaki untuk meneliti, sebelum kembali tersenyum pada Saga yang hanya menatapi. “Kok Saga diem aja? Suka nggak?”
Lagi, Saga mengangguk. Entah mengapa, sulit sekali mengucapkan bahwa dia senang. Senang sekali. Terima kasih, Ayah. Saga senang sekali.
Sulit sekali.
Saga kecil hanya mampu mengurai perasaan senangnya dengan memelintir ujung kaus, sambil menunggu Ayah menawarkannya untuk bisa main sepeda.
“Saga mau main sekarang?” Lantas anggukan Saga lebih kuat, yang membuat Ayah tersenyum lebih lebar. “Mau Ayah temenin?” dia mengangguk lagi.
Sehingga keduanya melangkah dari pelataran Rumah bersama. Menuju ke sebuah gang rumah mereka untuk mulai bermain sepeda.
“Perlu Ayah pegangin nggak?” Saga menggeleng. “Udah bisa, ya?” Lalu dia mengangguk. “Oke, Saga naik dulu deh. Nanti Ayah lepas kalau Saga udah bisa.”
Maka Saga menurut untuk menaiki sepeda yang Ayah pegangi, memegang stang sebelum menaruh satu kaki pada ayuhan kaki, lalu menoleh pada Ayah di belakangnya, disambut Ayah dengan senyum hangatnya.
“Sudah siap, Nak?”
“Sudah.” Saga menatap ke depan, tidak lagi melihat apakah Ayah masih memegang atau tidak.
“Ayah lepas ya. Satu … dua … ti — ”
Saga tersenyum ketika sepedanya mulai melaju, menjauhi Ayah yang tertinggal di belakangnya, menatapi punggung Saga yang bergerak menjauh.
“Hati-hati di jalan, Nak!” Ayah berteriak senang ketika Saga tidak menoleh lagi. “Jangan sampai jatuh!”
Jangan sampai jatuh …
Satu kenangan hangat yang selalu Saga ingat bahkan sampai sekarang. Kenangan bahagia yang sampai sekarang selalu dia sesali, kenapa dia tidak pernah mengucapkan terima kasih.
“Papa kena kanker usus, Ga.” Maka seperti dihimpit di ruangan yang sempit, napas Saga terasa sulit. Tubuhnya mematung di atas sofa dengan bibir yang bercelah, mencoba meraup udara yang mendadak absen di paru-parunya. “Papa kena kanker usus, tapi dia masih bisa ketawa sama Mama.” Mama bergumam sumbang, menahan tangis dengan bibirnya yang bergetar. “Katanya … ya sudah waktunya. Memang sudah tua.”
Satu tetes air mata Saga biarkan jatuh walau tanpa matanya berkedip. Belum mengatakan satu katapun sedari tadi. Hatinya sesak sekali.
“Kata Papa, Mama tidak perlu minta uang sama Saga karena Papa bisa tahan dengan apa yang dicover asuransi. Tidak perlu kasih beban ke kamu lagi.” Mama mengusap pelan wajahnya sendiri. “Tapi Mama masih mau sama Papa, Ga.” Air mata Mama jatuh semakin banyak. “Mama egois, ya?”
Saga tertunduk ketika air matanya jatuh lagi. Banyak. Dalam diamnya tanpa Mama melihatnya. Saga akhirnya bisa menunjukkan emosinya.
Dia tidak rela.
“Mama masih mau usaha supaya Papa bisa sembuh. Mama masih mau usaha supaya Papa bisa sama kita terus. Tapi kata Papa — ” Mama menjeda ketika dia terisak. “Kata Papa kasian kamu. Harus keluar uang banyak lagi untuk kami. Pasti berat sekali.”
“Nggak usah dipikirin.” Setelah mencari suaranya yang sempat hilang, Saga bersuara dengan suara beratnya. Sumbang di telinga Mama. “Ikutin aja apa kata dokternya, Ma. Uangnya nggak usah dipikirin. Biar aku yang mikir.”
Isak Mama masih terdengar. Lirih. Sesekali harus membekap mulut sendiri agar tangisnya tidak pecah lagi.
“Mama minta maaf — ya, Ga?” isak Mama terbata. “Bahkan sedari kecil, kamu selalu berjuang keras untuk kami. Mama malu sekali.”
“Nggak.” Aku yang harusnya minta maaf karna masih bikin Mama dan Papa kebingungan soal uang bahkan setelah sedewasa ini. Aku yang masih gagal. Bukan mama. Saga ingin mengatakan semua itu. Namun, “Udah nggak usah dibawa nangis lagi, ya? Berobat aja kayak biasa. Yang lain nggak usah dipikirin. Nanti capek.”
Maka dengan itu, Mama setuju. Mengangguk setelah mengeringkan air mata di pipi basahnya. Membuat Saga menghela napas panjang seraya menyandarkan punggung pada Sofa, lalu terpejam lama sebelum bergumam,
“Ma …” gumam Saga gamang hingga Mama berdehem. “Boleh bilang sama Papa?”
“Apa, Nak?” Mama bertanya. “Bilang apa? Nanti Mama sampaikan.”
Maka pelan-pelan dua mata Saga terbuka, mengerjap, lalu menjawab,
“Bilang Papa, makasih.” Saga meloloskan satu air mata lagi. “Makasih. Sepedanya. Aku suka.”
Lantas setelahnya, sambungan itu terputus untuk Saga menerima satu panggilan lainnya.
Panggilan dengan nama Hertanto Atmadja di sana.
“Giandra Saga.” Saga mengeraskan rahang bahkan ketika suara pria disebrang telepon itu menyapanya. Merasakan ada emosi lain yang kini dia rasa. Marah. “Melihat bagaimana kamu menjawab saya beberapa hari lalu saya pikir kamu akan bertahan lama.” Pria yang kini begitu Saga benci namanya itu kini terkekeh meremehkan, membuat napas Saga mulai berat. “Saya pikir setidaknya mungkin satu bulan? Tapi ternyata kamu hanya bertahan beberapa hari. Bagaimana? Menyebalkan ya melihat semua orang membuang relasi hanya untuk uang? Itu yang semua orang lakukan untuk uang, Ga. Menjual harga diri.”
Cih.
Saga menarik satu sisi bibir untuk meloloskan satu tawa sarkastik. Sebelum melenyapkannya dalam hitungan detik.
“Sepertinya pengalaman pribadi anda juga ya, Pak Atmadja?” kata Saga dengan suara beratnya. “Jual harga diri untuk uang dan kekuasaan?”
Hertanto Atmadja tertawa lagi. Membuat Saga mengeraskan rahangnya lagi. “Sayangnya saya terlahir dengan banyak uang, Ga,” katanya penuh kemenangan. “Itu yang kita sebut dengan privilege. You born with it.”
Saga hanya membuang tatap karena kesal. Tidak menyangkal. Tentu saja. Terlahir kaya raya. Siapa juga yang mau terlahir sebaliknya?
“Jadi gimana?” Hertanto melanjutkan. “Kamu setuju semuanya?”
“Dengan banyak syarat.” Saga kembali menatap ke depan. Mengilatkan binar tajam pada matanya. “Banyak hal yang mau saya minta sebelum menyetujuinya.”
Hertanto tertawa. “Wah, saya nggak tahu kamu udah jadi pria oportunis dalam beberapa hari aja. Uang memang luar biasa.”
“Anda yang menutup semua sumber uang saya kalau anda lupa,” kata Saga rendah. Nadanya jengah. “Saya nggak pernah butuh uang anda. Tapi anda yang tutup semua sumber uang saya. Jadi saya akan memastikan saya dapat yang sepantasnya. Ini untuk putri anda, kan?”
Maka senyum Hertanto lenyap. Saga menemukan kelemahannya. Anak.
“Siapa namanya? Keyra?” Saga kembali menarik satu sudut bibir. “Sepertinya dia cinta mati sekali sama saya yang lahir tanpa privilege ini. Sampai setiap hari kirim dm instagram ke saya.” Saga tersenyum lebih lebar ketika Hertanto terdiam. Lantas menyandarkan punggung. “Dia bilang, dia cuma bisa sehat kalau lihat saya. Lucu juga.”
“Apa?” Hertanto langsung menjawab dengan cepat. “Apa yang mau kamu minta?”
“Semuanya.” Raut wajah Saga berubah gelap. Meremas ponsel ditangannya. “Semua yang anda punya. Kekuasaan, uang, relasi. Semua yang bisa saya ambil untuk mewujudkan semua impian saja. Saya juga minta 6 teman saya di label lama ikut untuk bekerja di The Key Records bersama. Semua yang pernah anda tawarkan. Debut rapper, album solo, studio pribadi, promosi besar-besaran. Juga — ” Saga sesaat menunduk ketika napasnya menderu, merasa emosinya begitu naik turun. “Saya minta anda untuk membiayai seluruh pengobatan terbaik untuk penyakit Ayah saya. Kanker usus. Sampai sembuh.”
“No problem for me.” Hertanto menyetujui. “Itu aja?”
Itu aja katanya?
Maka Saga mengeraskan rahangnya. “Belum. Satu lagi.” Saga menaruh siku di paha, membungkuk setelah membasahi bibirnya. “Karna baru akan debut dengan lagu-lagu saya, saya mau pernikahan itu disembunyikan. Akan sangat tidak menjual kalau mereka tau saya udah punya istri. Bagaimana?”
“Kamu pikir saya mau semua orang tau kalau anak saya menikah sama kamu?” Hertanto menggeleng. “Tentu saja kita akan menyembunyikannya. Saya setuju.”
“Dan hanya 3 tahun.” Kali ini, Hertanto mengernyit. “Anda nggak suka lihat anak anda nikah sama saya, kan? Jadi kita buat aja hanya dalam 3 tahun. Lalu selesai.”
Hertanto terdiam untuk berpikir. Sebelum akhirnya menjawab,
“3 tahun,” katanya setuju.
Maka keduanya setuju. Membuat Hertanto melanjutkan untuk berkata,
“Tinggal satu hal lagi untuk melanjutkan semua ini,” katanya. “Kamu harus bertemu Keyra dulu. Dia belum pernah bicara dengan pria manapun selain keluarga dalam 4 tahun terakhir. Kalau dia mau bicara denganmu, maka kita akan lanjutkan semuanya.”
“Setuju.”